Rabu, 13 Februari 2013

Sunan Abu Dawud


Studi Kitab Hadits Sunan Abu Dawud

Riwayat Hidup Singkat Beliau
Namanya Abu Daud Sulaiman Ibn al-Asy’as Ibn Ishak Ibn Basyir Ibn Syidad Ibn Amr Ibn Amran al-Azdiy al-Sijistaniy. Ia dilahirkan di Sijistan (salah satu wilayah dalam kota Bashrah) pada 202 H/ 817 M. dan meninggal di Bashrah tanggal 15 Syawal 275 H/ 888 M.
Abu Daud adalah seorang ulama yang hafizh al-Qur’an dan ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan keislaman, terutama ilmu fikih dan hadis. Pendidikannya dimulai dengan belajar bahasa arab, al-Qur’an dan pengetahuan agama lainnya. Sampai usia 21 tahun ia bermukim di Bagdad. Setelah itu ia melanjutkan belajarnya keluar daerah seperti Hijaz, Syam (Syuriah), Mesir, Khurasan, Ray (Teheran), Harat, Kufah, Tarsus, dan Basrah.
Dalam perjalanannya itu ia berjumpa dan berguru kepada para pakar hadis, seperti Ibn Amr al-Darir, Ahmad Ibn Hanbal, al-Qa’nabiy, Muslim bin Ibrahim, Abdullah Ibn Raja’, Abu Walid al-Tayalisiy dan lain-lain. Sebagian gurunya ada pula yang menjadi guru Imam Bukhari dan Muslim, seperti Ahmad bin Hanbal, Usman Ibn Syaibah, dan Qutaibah Ibn Sa’id.
Setelah pengembaraannya yang panjang dalam studi tersebut, Abu Daud menghasilkan sebuah karya yang monumental, yakni Sunan Abu Daud. Banyak ulama hadis yang tercatat berguru kepadanya dan sekaligus mengambil serta menyebarluaskan hadis-hadis yang ada dalam sunannya itu. Diantara murid-muridnya adalah Imam al-Nasa’I, Abu Bakar bin Abu Daud, Abu Awanah, Abu Basyar al-Daulabiy, Abu Sa’id al-Arabiy, Abu Ali al-Lu’luiy, Abu Bakar bin Dasah, dan Abu Salim Muhammad bin Sa’id al-Jaludiy.
Selain kitab sunan, Abu Daud juga menulis karya-karyanya yang lain, seperti: al-Marasil, Masail al-Imam Ahmad, al-Nasikh wa al-Mansukh, Risalat fi Wasf kitab al-Sunan, al-Zuhd, Ijabat ‘an Shalawat al-Ajurriy, As’ilah ‘an Ahmad bin Hanbal, Tasmiyat al-Akhwan, Kitab al-Qadr, al-Ba’su wa al-Nusyur, Dalailu al-Nubuwwah, Fadhailu al-Anshar, Musnad Malik, al-Du’a, Ibtida’ al-Wahy, al-Tafarrud fi al-Sunan, Akhbar al-Khawarij, dan al-Masail al-latiy Khalafa ‘alaiha al-Imam Ahmad.
Banyak orang yang memuji Abu Daud sebagai orang yang wara’, cakap, dan berkemampuan tinggi, terpecaya serta termasuk seorang ulama yang terkemuka. Dia juga dianggap seorang faqih dan seorang ulama yang akurasi dalam penerimaan hadis patut diperhitungkan. Misalnya Musa ibn Harun menyatakan, “Abu Daud lahir ke dunia adalah untuk memelihara hadis, dan hidup di akhirat nanti akan di tempatkan di syurga. Tidaklah aku melihat seseorang pun yang melebihi dia (Abu Daud) dalam keutamaan.”
Pujian lainnya juga datang dari Abu Bakar al-Khilal, ahli hadis dan fiqih terkemuka yang bermazhab Hanbaliy. Dia menggambarkan Abu Daud Sulaiman bin al-‘Asy’as, imam terkemuka di zamannya adalah seorang tokoh yang telah menggali beberapa bidang ilmu dan mengetahui tempat-tempatnya, dan tiada seorang pun pada masanya yang dapat mendahului dan menandinginya. Abu Bakar al-Asbihaniy dan Abu Bakar Ibn Sadaqah senantiasa menyanjung-nyanjung Abu Daud karena ketinggian derajatnya, dan selalu menyebut-nyebutnya dengan pujian yang tidak pernah mereka berikan kepada siapapun di zamannya.
Kepustakaan:
1-     Muhammad Abu Zahwu, al-Hadis wa al-Muhaddisun, Beirut: Dar al-Fikr al-‘arabiy, 1984.
2-     Muhammad Muhy al-Din Abd. Hamid (tahqiq), Sunan Abu Daud I, Mesir: Maktabah Tijariah kubra, 1950.
3-     Muhammad, Muhammad Abu Syuhbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Sihhah al-sittah, t. tp:Majma’ al-Buhus al-Islamiah, 1969.
4-     Raja Mustafa Hazin, I’lam al-Muhaddisun wa Manahijuhum fi al-Qarni al-Salis al-Hijriy, Kairo: al-Azhar, t. th.
5-     Kamil Muhammad Muhammad Uwaidhah, A’lamu al-Fuqaha’ wa al-Muhaddisin: Abu Daud, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1996.

Pendapat Ulama tentang Kitab Sunan Abu Daud

Al-Khattabiy berkata, Kitab sunan Abu Daud adalah sebuah kitab yang mulia, yang belum pernah disusun sesuatu kitab yang menerangkan hadis-hadis hukum sepertinya. Para ulama menerima baik kitab sunan itu. Karenanya, ia menjadi hakim antara fuqaha’ yang berlainan (berbeda mazhab). Kitab inilah yang dipegang oleh para ulama Irak, Mesir, Maroko, dan lain-lain. Abu Daud-lah yang mula-mula menyusun kitab hadis yang mengumpulkan hadis-hadis hukum. Oleh karenanya, Sunan Abu Daud mendapat kedudukan yang tinggi dikalangan ulama hadis.
Kitab ini beredar luas di masa hidup penulisnya. Ali Ibn Hasan, mengatakan bahwa ia mempelajari kitab ini enam kali dari Abu Daud. Dibanding kitab lain, kitab ini adalah kitab yang terbaik dan lebih komperehensif dalam masalah hadis-hadis hukum. Ibnu Shalah (w. 642 H/1246 M), Ibnu Mundih, dan Ibnu Abd. Al-Bar (ketiganya ahli hadis) menilai karya tersebut sebagai bermutu standar untuk berhujjah.
Ibnu al-Qayyim berkata: “Mengingat bahwa kitab sunan karya Abu Daud Sulaiman bin Asy’as al-Sijistaniy memiliki kedudukan tinggi sebagaimana ditakdirkan demikian oleh Allah, sehingga hakim di kalangan umat Islam dan pemutus bagi pertentangan dan perbedaan pendapat, maka kepada kitab itulah orang-orang mengharapkan keputusan dan dengan keputusannya, mereka yang mengerti kebenaran akan merasa puas. Demikian ini karena Abu Daud dalam kitabnya menghimpun segala macam hadis hukum dan menyusunnya dengan sistimatika yang baik dan indah, serta melalui proses seleksi ketat di samping tidak mencantumkan hadis yang diriwayatkan seorang yang tercela (majruh) dan lemah (dha’if).
Sementara itu Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Imam Nawawiy dan Ibnu Taimiah mengkritik karya Abu Daud tersebut. Kritik tersebut meliputi: (a) tidak adanya penjelasan tentang kualitas suatu hadis dan kualitas sanad (sumber, silsilah dalam hadisnya) sementara yang lainnya disertai dengan penjelasan; (b) adanya hadis yang dha’if (lemah) menurut penilaian ahli, tetapi tanpa penjelasan kedha’ifannya oleh Abu Daud; (c) adanya kemiripan Abu Daud dengan Imam Hanbaliy dalam mentoleransi hadis yang oleh sementara kalangan dinilai dha’if.
Al-Tirmisi mengungkapkan di antara kelemahan kitab sunan, terutama dalam hal pemakaian rawinya. Dia mengatakan: “Abu Daud tidak mengambil riwayat dari rawi yang tertuduh dusta (matruk) di dalam sunannya. Tetapi rawi yang mungkar masih diterima riwayatnya, kendatipun dengan penjelasan kemungkarannya. Misalnya hadis yang mengandung wahn syadid yang berarti hadis itu dinilainya dha’if meskipun dijelaskan kedha’ifannya. Juga pernyataannya rawi yang bernama Haris ibn Wajih (misalnya), adalah rawi yang mungkar dan dengan begitu hadisnya lemah. Mengenai hal yang berhubungan dengan inqitha’ disebut dengan jelas, misalnya dalam bab kaifa al-mashu, ia menjelaskan bahwa rawi yang bernama Saur bin Yazid tidak berjumpa dengan rawi berikutnya yakni Raja Ibn Hamimah.
Adapun hadis yang tanpa komentar, Ibn Rusyd mengatakan bahwa hadis tersebut shahih menurut Abu Daud. Namun menurut Ibn Shalah hadis yang demikian itu derajatnya hasan dan mungkin dha’if. Sedangkan Imam al-Hafizh Ibn al-Jauzi telah mengkritik beberapa hadis yang dicantumkan oleh Abu Daud dalam sunannya dan memandangnya sebagai hadis-hadis maudhu’ (palsu). Jumlah hadis tersebut sebanyak sembilan buah hadis.
Berkaitan dengan kritikan al-Jauzi terhadap kitab sunan Abu Daud tersebut, Jalaluddin al-Suyuthi telah memberikan tanggapan sekaligus sanggahan terhadap kritikan-kritikan tersebut. Walaupun kritikan-kritikan itu dapat diterima, maka sebenarnya hadis-hadis yang dikritik itu sangat sedikit jumlahnya. Dan hal ini tidak ada pengaruh yang sangat berarti terhadap kitab sunan ini, sebagai referensi ulama.
 _ ini tugas semester 4, madah ilmu hadis bersama ustadz sulton lc_  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar